Tradisi Kota Tegal

Moci, Sebuah Tradisi Tegal Dari Dulu.


Sebagai warga Tegal tentunya tak asing lagi dengan moci. Moci merupakan sebuah kegiatan ngumpul bareng ngeteh dengan poci tanah ditemani mendoan hangat yang biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari. Moci tak harus dilakukan rame-rame, sendirian pun bisa. Namun karena sudah kebiasaan dari dulu, moci identik dengan ngumpul ditemani teh poci.
Tak sedikit warga Tegal melakukan hal ini, karena moci sudah menjadi tradisi turun temurun. Belum dikatakan orang Tegal kalau belum moci. Moci juga sudah menjadi icon Tegal, sampai-sampai disetiap sudut kota ada patung poci. Poci Tegal memang punya khas tersendiri karena bahannya dari tanah, inipun membuat rasa tehnya lebih berasa di lidah. Kata sebagian orang diluar Tegal, teh Tegal punya rasa khas wangi asli dengan melatinya.
Kalau dilihat membuat minuman teh ini mudah, tapi tak jarang orang salah cara dalam membuatnya. Ada yang merebus bareng dengan tehnya dan akibatnya rasa agak beda. Berikut cara membuat teh yang baik dan lebih nikmat:
Bahan-bahan:
- Air putih 500 ml
- Teh poci/super 1-2 bungkus
- gula batu 1 bungkus
- poci tanah + gelas tanah (sesuai kebutuhan)
- Cara membuat :
- Rebus Air dahulu hingga matang
- masukkan 1 bungkus teh kedalam 1 poci tanah
- masukkan air panas tadi kedalam poci
- tunggu 3-5 menit hingga teh tenggelam dalam poci
- siapkan gula batu didalam setiap gelas
- tuangkan sedikit-sedikit teh dalam poci kedalam gelas tanah
- tinggal diminum, biasanya cara minumnya disruput.
- selamat mencoba.
Pawai Ancak Sedekah Laut Di Tegal


TEGAL, suaramerdeka.com - Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, nelayan di Kota Tegal menggelar sedekah laut. Rangkaian kegiatan sedekah laut dimulai Minggu (11/12) hingga Jumat (16/12).
Salah satu kegiatan yakni Pawai Ancak dilaksanakan Senin (12/12). Sebanyak enam ancak diarak menggunakan mobil pikap keliling Kota Tegal. Ancak berupa rumah-rumahan berisi sesaji berupa kepala kerbau, buah-buahan, minuman ringan dan makanan.
Pawai diikuti ratusan peserta mulai anak-anak hingga dewasa dan dimeriahkan drumband, balo-balo, rebana, buraq, organ tunggal dan kereta kelinci. Rombongan melalui rute dari Jl Brawijaya, Jl Blanak, Jl Piere Tendean, Jl S Parman, Jl Proklamasi, Jl Veteran, Jl A Yani, Jl KH Mansyur dan finish di Pendapa Ki Gede Sebayu, Balai Kota Tegal.
Pawai sedekah laut keliling kota menyedot perhatian masyarakat. Di Balai Kota, peserta pawai diterima Wali Kota Tegal Ikmal Jaya SE Ak dan sejumlah jajaran SKPD. Wali Kota mengatakan, "Pemkot menyambut baik pelaksanaan pawai dan sedekah laut yang sudah menjadi tradisi masyarakat maritim di Kota Tegal."
Ikmal menyebutkan, sedekah laut merupakan ungkapan syukur atau terima kasih nelayan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah diberi rezeki tangkapan ikan yang bagus tahun ini dan ke depan berharap diberi hasil lebih baik, serta keselamatan saat melaut. ”Semua permintaan doa hanya ditujukan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hanya untuk itu ada tradisi sedekah laut,” sebutnya.
Menurut Ikmal, Pemkot Tegal mendukung budaya masyarakat yang harus dilestarikan seperti Pawai Sedekah Laut, Toa Pe Kong, Rolasan, dan HUT Kota Tegal. Kegiatan itu akan dijadikan sebagai agenda tahunan menyambut program Tegal Wisata 2014.
Dikelola Pemkot
Upaya Pemkot telah dilakukan, diawali dengan mengalokasikan pajak pendapatan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang telah dikelola Pemkot unuk membiayai kegiatan sedekah laut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Mahmud Effendi mengatakan, enam ancak yang diarak merupakan sumbangan dari nelayan kapal purseseine (dua ancak), gillnet dan cantrang (dua ancak) dan tulakan atau kapal kecil (dua ancak).
Mahmud menyebutkan, pawai hingga Balai Kota pernah dilaksanakan pada saat kepemimpinan Wali Kota HM Zakir. Namun, setelah itu tidak lagi dilakukan. ”Dulu start dari Pendapa menuju ke pelabuhan, tetapi sekarang di balik finish di Pendapa,” paparnya.
Dia mengatakan, kegiatan sedekah laut menelan biaya hingga ratusan juta. Biaya diperoleh dari bantuan Pemkot, pemilik kapal, nakhoda dan Anak Buah Kapal (ABK).
Dari Pemkot, angaran yang diusulkan sebesar Rp 105 juta, Pemkot menyumbang Rp 99 juta. Bantuan itu digunakan untuk membiayai pawai, sunatan massal, bantuan kepada panti jompo dan janda, serta penghargaan kepada sepuluh kapal berprestasi.
Sementara itu, tiap pemilik kapal dimintai sumbangan yang bervariasi jumlahnya. Untuk kapal purseseine masing-masing kapal ditarik Rp 500.000, kapal cantrang dan gillnet Rp 400.000 dan kapal tulakan Rp 100.000. ”Jumlah kapal purseseine ada sekitar 100 unit, kapal cantrang 500 unit, gillnet 30 unit dan tulakan ada 20 unit,” terang dia.
Mahmud menyebutkan, kegiatan sedekah laut merupakan kegiatan yang dinantikan nelayan. Kegiatan ini menjadi ajang mempersatukan nelayan.

TRADISI BUANG AYAM ATAU BEBEK DI TEGAL


Tegal, selain kaya dengan keragaman kulinernya, kaya juga dengan keragaman budaya dan tradisinya. Setelah kemarin kita bahas mengenaiTebus Weteng, kini kita bahas mengenai tradisi Buang Ayam / Bebek. Tradisi ini dilaksanakan setelah prosesi Ijab Qabul pernikahan. Namun tradisi ini dikhususkan bagi calon mempelai yang rumahnya dibatasi oleh sungai yang agak besar. Jadi ketika iring-iringan calon pengantin tersebut melewati jembatan, diwajibkan membawa sepasang bebek atau ayam untuk dibuang. Menurut kepercayaan setempat, apabila tidak melaksanakan tradisi tersebut, bisa dipastikan kedua pengantin tersebut bakal celaka.
Pada jaman dahulu, dibuang dalam artian adalah bebek / ayam tersebut dijadikan semacam tumbal agar terbebas dari celaka. Sehingga bebek / ayam yang dilempar tersebut akan hanyut dan mati terbawa arus sungai.
Namun kini seiiring dengan berjalannya waktu, prosesi “pembuangan” tersebut tidak sepenuhnya dibuang, namun nanti diperebutkan oleh anak – anak yang sudah menunggu di bawah jembatan. Setiap pengantin membawa bebek / ayam satu persatu, dan dalam hitungan ketiga, hewan tersebut dilemparkan dan dijadikan rebutan. Suasana di bawah jembatan menjadi riuh ramai oleh anak- anak yang saling berebut. Biasanya, hasil tangkapannya pun nanti dimasak untuk disantap bersama-sama dengan anak- anak yang lainnya.Tradisi yang awalnya sebagai penolak bala, kini berubah menjadi sedekah. Karena biasanya anak – anak yang berebut hewan tersebut adalah dari golongan yang kurang mampu. Untuk lebih meramaikan acara, kedua hewan tersebut biasanya dihias yaitu diberi pita agar menarik perhatian. Unik bukan?
Tradisi ini masih dilakukan oleh desa yang dilewati oleh sungai besar dan lokasinya terbilang jauh dari jalan utama. Ketika melakukan survey via twitter @infotegal, daerah yang tercatat masih melakukan tradisi ini adalah di Larangan (Kramat), seputaran Pagiyanten (Adiwerna), Sindang (Dukuhwaru), dan beberapa daerah lainnya.

Sumber : Infotegal

Previous
Next Post »
0 Komentar